
Nilai tukar rupiah masih bergerak dalam tren pelemahan dan berada di level Rp15.600an per dolar Amerika Serikat (AS). Pelemahan ini terjadi di tengah data tenaga kerja AS yang tampak membaik.
Dilansir dari Refinitiv, rupiah ditutup ambruk 1,26% di angka Rp15.675/US$ pada Senin (7/10/2024). Pelemahan rupiah tersebut telah terjadi selama enam hari beruntun atau sejak 30 September 2024.
Ambruknya nilai tukar rupiah terjadi pada awal Oktober ini terjadi akibat meletusnya perang antara Iran dan Israel di Timur Tengah serta hingga gelontoran Stimulus Jumbo Chin yang mendorong penguatan indeks dolar AS (DXY).
Pergerakan rupiah tahun ini memang tampak sangat dipengaruhi oleh sentimen domestik maupun eksternal, baik fundamental ekonomi Indonesia, kondisi politik dalam negeri, politik luar negeri, konflik di Timur Tengah, hingga keputusan bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed).
Lantas, bagaimana perjalanan rupiah & apa saja penyebab jatuh bangunnya mata uang Garuda?
Januari 2024
Di awal 2024 ini, tampak rupiah mengalami depresiasi dari angka Rp15.395/US$ pada akhir Desember 2023 hingga menyentuh level Rp15.775/US$ pada akhir Januari 2024.
Pelemahan rupiah pada saat itu terjadi karena data PDB AS tumbuh sebesar 3,3% pada kuartal keempat. Angka tersebut jauh lebih tinggi dari ekspektasi 2% dari para ekonom yang disurvei oleh Dow Jones, yang menggarisbawahi berlanjutnya ketahanan ekonomi meskipun ada kenaikan suku bunga dari The Fed.
Selain itu, data PMI Manufaktur Flash juga terpantau naik lebih tinggi dari konsensus dan periode satu bulan sebelumnya, yakni dari 47,9 menjadi 50,3.
Sedangkan, PMI Composite AS pada Januari 2024 secara flash menunjukkan ada kenaikan PMI dari 50,9 menjadi 52,3 dan lebih tinggi dari perkiraan yang proyeksi turun ke posisi 50,3.
Nilai PMI manufaktur di atas 50, menunjukkan kondisi manufaktur AS di fase ekspansif.
Data PMI menjadi hal yang penting karena semakin tingginya PMI, maka aktivitas manufaktur AS akan bergerak cukup panas dan berpotensi membuat inflasi semakin sulit dikendalikan.
Februari 2024
Pada 15 Februari 2024 atau satu hari setelah pemilihan umum presiden (pilpres) 2024, tampak rupiah ditutup di zona pelemahan dengan depresiasi sebesar 0,16% meskipun di awal perdagangan terjadi penguatan sebesar 0,13% ke angka Rp15.570/US$.
Hal ini tampak cukup berbeda mengingat secara historis, gerak rupiah pada sehari setelah pemilihan selalu menghijau, termasuk saat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi) memenangi pilpres.
April 2024
Pada pertengahan April 2024, rupiah kembali terpuruk dan menyentuh level Rp16.250/US$ bersamaan dengan memanasnya konflik di Timur Tengah setelah Israel meluncurkan rudal sebagai serangan balasan terhadap Iran pada Jumat (19/4/2024) dini hari.
Peluncuran rudal tersebut menyusul serangan Iran pada Sabtu lalu, di mana negara tersebut mengirimkan lebih dari 300 drone dan rudal tanpa awak ke sasaran di seluruh negeri. Semua kecuali beberapa dicegat oleh Israel dan sekutunya, termasuk Amerika Serikat, kata para pejabat.
Mengatasi hal tersebut, Iran mulai mengaktifkan sistem pertahanan udaranya di beberapa kota. Hal itu menyusul terdengarnya ledakan di dekat pusat kota Isfahan.
Juni 2024
Pada 21 Juni 2024, nilai tukar rupiah sempat menyentuh level terlemahnya disepanjang tahun ini yakni di angka Rp16.445/US$. Posisi tersebut juga merupakan yang terlemah sejak pandemi Covid-19 silam.
Selain itu, investor asing juga tercatat jual neto Rp0,78 triliun terdiri dari jual neto Rp1,42 triliun di pasar saham, beli neto Rp0,45 triliun di Surat Berharga Negara (SBN) dan beli neto Rp0,19 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Catatan keluarnya investor asing ini mematahkan trennet foreign inflowselama enam pekan beruntun yang telah terjadi sejak pekan pertama Mei 2024.
Keluarnya dana asing ini memberikan tekanan bagi rupiah yang hingga saat ini tak kunjung mereda.
Lebih lanjut, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga menyampaikan bahwa tekanan terhadap rupiah beberapa hari terakhir sebetulnya disebabkan oleh faktor global, seperti kuatnya perekonomian AS yang menyebabkan bank sentralnya diduga banyak pelaku pasar masih akan sulit menurunkan suku bunga acuan Fed Fund Rate. Selain itu, ada perbedaan arah suku bunga negara-negara maju karena bank sentral Eropa kini malah menurunkan suku bunga acuannya.
Agustus 2024
Bulan Agustus menjadi periode yang membahagiakan mengingat rupiah sangat perkasa di bulan ini. Rupiah tampak menguat sebesar 4,95% dari level Rp16.255/US$ menjadi Rp15.450/US$.
Apresiasi rupiah ini terjadi di tengah gemuknya cadangan devisa (cadev) Indonesia yang bertambah sebesar US$5,2 miliar menjadi US$145,4 miliar untuk periode Juli 2024.
Lebih lanjut, momen reshuffle kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga menjadi pendorong rupiah semakin perkasa.