Rupiah terpantau merana dihadapan dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang pekan ini. Begitu juga mata uang asia yang seluruhnya terkapar melawan sang dolar AS.
Melansir dari Refinitiv pada pekan ini, rupiah ambles 1,18% secara point-to-point (ptp) dihadapan dolar AS. Sementara pada perdagangan Jumat (15/11/2024) kemarin, rupiah ditutup stagnan di level Rp 15.850/US$.
Pada pekan ini pula rupiah kembali menyentuh level psikologis Rp 15.800/US$, menjadi yang terburuk sejak awal Agustus lalu.
Tak hanya rupiah saja, mata uang Asia juga nyaris tidak ada yang mampu melawan ganasnya dolar AS pada pekan ini. Kecuali won Korea Selatan yang masih mampu melawan dolar AS yakni naik 0,18%.
Meski rupiah terpuruk, tetapi mata uang tetangga Indonesia yakni ringgit Malaysia justru menjadi yang terburuk di Asia sepanjang pekan ini, yakni ambruk hingga 2%.
Dolar AS memang sedang perkasa-perkasanya dalam beberapa waktu terakhir. Hal ini dapat dibuktikan dengan indeks dolar AS (DXY), di mana sepanjang pekan ini saja, dolar AS sudah terbang 1,61%. Pada perdagangan Jumat kemarin, indeks dolar AS naik tipis 0,02% ke posisi 106,69.
Mata uang rupiah dan sebagian besar mata uang Asia merana juga disebabkan oleh perkasanya obligasi pemerintah AS (US Treasury). Sepanjang pekan ini, imbal hasil (yield) Treasury tenor 10 tahun sudah terbang 14,7 basis poin (bps).
Kemenangan Trump membuat nilai tukar mata uang dolar AS menguat. Maklum, Trump dalam beberapa kesempatan mengungkapkan bahwa dirinya ingin mewujudkan strong dollar, dolar AS yang kuat.
Selain itu, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang mulai kembali hawkish, setelah sempat bersikap sedikit dovish direspons kecewa oleh pelaku pasar.
Chairman The Fed Jerome Powell, mengisyaratakan The Fed akan memperlambat pemangkasan suku bunga. Kondisi ini didasari bahwa pertumbuhan ekonomi AS yang kuat. The Fed bahkan mengatakan pertumbuhan ekonomi AS menjadi salah satu yang terbaik di dunia.
“Ekonomi tidak memberikan sinyal bahwa kita harus terburu-buru untuk menurunkan suku bunga,” kata Powell dalam sambutannya kepada para pemimpin bisnis di Dallas, dikutip dari CNBC International.
Ekonomi AS tumbuh 2,8% pada kuartal III-2024, sedikit lebih rendah dari yang diperkirakan tetapi masih lebih tinggi dari tren historis AS sekitar 1,8%-2%. Proyeksi awal menunjukkan ekonomi AS akan tumbuh 2,4% pada kuartal IV-2024.
Powell juga menambahkan jika pasar tenaga kerja tetap kuat meskipun ada persoalan lapangan pekerjaan yang mengecewakan pada Oktober yang sebagian besar dia atribusikan pada kerusakan akibat badai di dan pemogokan pekerja. Jumlah pekerjaan non-farm payrolls (NFP) hanya bertambah 12.000 pada Oktober 2024, terendah sejak Desember 2020.
Mengenai inflasi, ia menyebutkan bahwa telah ada kemajuan dan pejabat The Fed memperkirakan inflasi akan terus bergerak kembali ke arah target 2%. Namun, data inflasi minggu ini menunjukkan adanya sedikit kenaikan pada harga konsumen dan produsen yang semakin menjauh dari target Fed.
“Inflasi berjalan lebih dekat ke target jangka panjang 2% kami, namun masih belum tercapai. Kami berkomitmen untuk menyelesaikan tugas ini,” kata Powell.
Sebagai catatan, inflasi AS merangkak naik ke ke 2,6% (year-on-year/yoy) pada Oktober dari 2,4% (yoy) September 2024. Tingkat pengangguran mencapai 4,1% pada September 2023. Angka pengangguran bahkan sempat menyentuh 4,3% pada Juli 2024 yang merupakan rekor tertinggi sejak Oktober 2021.