GSM soroti pentingnya merefleksikan diri dalam dunia pendidikan

GSM soroti pentingnya merefleksikan diri dalam dunia pendidikan

Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) menyoroti pentingnya merefleksikan diri bagi pendidik sebagai upaya merenungkan arah pendidikan di tengah derasnya arus digital dan kecerdasan buatan (AI) yang mendominasi kehidupan.

“Waktu kita banyak tersita oleh algoritma, oleh rutinitas administratif, tetapi justru sedikit sekali untuk perkara yang penting, yakni berpikir, berdialog dengan nurani, dan memelihara imajinasi,” kata Pendiri GSM Muhammad Nur Rizal dalam keterangan resminya di Jakarta, Rabu.

Dalam acara refleksi pendidikan bertajuk “Ngkaji Pendidikan” yang digelar di Jakarta, Sabtu (30/8), Rizal menyampaikan bahwa saat ini telah terjadi ketidakberpikiran, yakni sebuah kondisi ketika manusia terjebak dalam rutinitas tanpa jeda untuk refleksi, sekadar mengikuti alur birokrasi dan algoritma digital.

Fenomena tersebut berbahaya karena berpotensi menumpulkan nalar kritis, mengikis imajinasi moral, dan menjauhkan manusia dari kesejatian diri. Menurut dia, ketidakberpikiran bukan hanya terjadi di sekolah, tetapi juga tampak dalam kehidupan sosial dan politik.

Di publik, misalnya, masyarakat kerap dibuat geram oleh perilaku wakil rakyat mulai dari mengusulkan kenaikan tunjangan dan pajak di tengah sulitnya ekonomi rakyat, korupsi yang makin merajalela, hingga aksi aparat yang justru melukai rasa keadilan dengan tindakan represif sampai menimbulkan kematian.

Di sisi lain, terjadi kesenjangan sosial-ekonomi yaitu lapangan kerja yang terbatas, kenaikan harga kebutuhan pokok, dan akses pendidikan yang belum merata.

Maka dari itu, ia mengingatkan bahwa pendidikan harus menjadi benteng peradaban yang tidak sekadar menyiapkan keterampilan teknis, melainkan melahirkan manusia yang mampu berpikir merdeka, berimajinasi moral, dan bertindak autentik.

“Jika guru hanya mengajukan pertanyaan sebatas apa yang tercantum di buku teks atau kurikulum, melarang murid yang mempertanyakan keadaan karena dianggap mengganggu alur pelajaran, maka murid hanya akan tumbuh menjadi pengikut, bukan pencipta. Padahal bangsa ini membutuhkan generasi yang autentik, berani, dan visioner,” ujarnya.

Ia turut mengatakan bahwa guru harus tetap memiliki energi moral meski sedang terjadi krisis sosial dan politik. Energi itu akan menjadi benteng bagi generasi muda tumbuh manusia merdeka yang siap menjawab tantangan zaman.

Rizal lalu menekankan bahwa belajar adalah tindakan moral. Ketika guru tidak mengajak muridnya berpikir, berimajinasi, dan berefleksi, maka sesungguhnya mereka keluar dari ranah moralitas, meski semua itu dilakukan atas nama kurikulum

“Adanya oknum-oknum yang menyebabkan masalah di bangsa Indonesia, jangan-jangan itu semua warisan kita sebagai pendidik, ketika kita tidak menanamkan keberpikiran dan hilangnya kesejatian diri,” kata dia.

Sebagai jalan keluar, Rizal mengajukan dua fondasi, yaitu dialog batin dan imajinasi moral. Dialog batin mengajarkan manusia untuk mempertanyakan diri, tentang benar atau tidaknya sebuah tindakan.

Sementara imajinasi moral mengajak guru melihat dunia dari perspektif murid, sehingga penghargaan terhadap anak tidak lagi diukur sekadar dari angka rapor.

https://kingslot.it.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*