Dua bulan lagi tahun 2024 akan berakhir. Selain harapan baru dalam menyambut tahun 2025 mendatang, akan ada ‘beban’ baru bagi masyarakat Indonesia. Sejumlah harga barang, jasa dan iuran wajib kemungkinan akan naik imbas kebijakan pemerintah yang rencananya mulai berlaku tahun depan.
Beban tersebut berupa Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, dan penerapan cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) hanya sebagian dari kebijakan yang berpotensi mengerek kenaikan harga. Semua kebijakan ini, dikhawatirkan semakin menekan daya beli masyarakat yang sudah kewalahan.
Berikut ini merupakan sejumlah kebijakan pemerintah di tahun 2025 yang berpotensi menjadi ‘petaka’.
PPN Naik menjadi 12%
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada pertengahan Agustus lalu mengatakan bahwa kenaikan tarif itu telah jelas menjadi amanat Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).
“Kan undang undangnya sudah jelas ya. Kecuali ada hal yang terkait dengan Undang-undang, kan tidak ada,” kata Airlangga di kantornya, Jakarta, dikutip Sabtu, (19/10/2024).
Pemerintah pun telah melakukan simulasi penerapan kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada awal 2025. Namun, untuk penerapannya masih tergantung keputusan pemerintahan Presiden Terpilih Prabowo Subianto.
“Sudah kita simulasikan plus minusnya, kira-kira potensinya berapa, kemudian dampaknya ke sektor usaha, itu sudah,” kata Susiwijono di kantornya, dikutip Sabtu (19/10/2024).
Sesuai ketentuan UU HPP pengenaan tarif PPN 12% itu diamanatkan berlaku mulai 1 Januari 2025. Namun, karena ada permintaan dari sektor usaha, khususnya pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia supaya ditunda, simulasi itu dilakukan untuk melihat dampaknya.
“Kalau dampak potensinya kan gampang hitungnya, naik dari 11% ke 12% itu kan berarti naik 1%, 1 per 11 itu kan katakan 10% total PPN kita realisasi setahun Rp 730-an triliun, berarti kan tambahnya sekitar Rp 70-an triliun,” tegas Susiwijono.
“Hitung dengan dampak ekonominya kira-kira kalau dengan itu bagaimana, nanti kemampuan bisnis serta sektor industri kita dan sebagainya, tinggal disandingkan,” ungkapnya.
Meski begitu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemberlakuan pajak PPN 12% pada 2025 masih menunggu keputusan presiden terpilih, Prabowo Subianto. Sri Mulyani berharap kenaikan ini tidak terjadi karena akan berdampak kepada kenaikan harga lagi dan membuat daya beli masyarakat makin terpuruk
“Kami terus berkomunikasi dan berkonsultasi dengan presiden terpilih,” kata Sri Mulyani.
Menurutnya, ada beberapa hal dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang masih harus dikoordinasikan dengan tim presiden terpilih. Baik dari sisi penerimaan, maupun belanja negara.
Penambahan Objek Cukai, Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK)
Tak hanya kenaikan PPN menjadi 12%, pengenaan cukai atas barang berpotensi bertambah di 2025. Adapun cukai baru yang bakal dikenakan yakni cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).
Dalam Buku Nota II Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025, rencananya objek MBDK akan dikenakan cukai pada 2025. Kebijakan ekstensifikasi cukai secara terbatas pada (MBDK) dikenakan untuk menjaga kesehatan masyarakat.
Pemerintah mengusulkan target penerimaan cukai sebesar tahun depan sebesar Rp 244,2 triliun atau tumbuh 5,9%. Pemerintah juga menargetkan barang kena cukai baru yakni minuman berpemanis dalam kemasan.
Usulan tersebut tertuang dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 serta dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) APBN 2025.
Dalam RUU pasal 4 ayat 6 disebutkan “Pendapatan cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dikenakan atas barang kena cukai meliputi:
a. hasil tembakau;
b. minuman yang mengandung etil alkohol;
c. etil alkohol atau etanol;
d. minuman berpemanis dalam kemasan
Munculnya barang kena cukai baru yakni minuman berpemanis dalam kemasan ini di luar dugaan mengingat pemerintah sebelumnya lebih gencar mewacanakan akan mengenakan cukai pada plastik. Ketentuan cukai plastik bahkan sudah dimuat dalam APBN 2024.
“Pemerintah juga berencana untuk mengenakan barang kena cukai baru berupa Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) di tahun 2025. Pengenaan cukai terhadap MBDK tersebut dimaksudkan untuk mengendalikan konsumsi gula dan/ atau pemanis yang berlebihan, serta untuk mendorong industri untuk mereformulasi produk MBDK yang rendah gula,” bunyi RAPBN 2025.
Cukai sebagai instrumen fiskal memiliki fungsi strategis, baik sebagai penghimpun penerimaan negara (revenue collector) maupun sebagai pengendali eksternalitas negatif.
Oleh karena itu, dalam setiap perumusan kebijakan tarif cukai, pemerintah perlu memperhatikan aspek-aspek yang dikenal 4 Pilar Kebijakan yaitu pengendalian konsumsi (aspek kesehatan), optimalisasi penerimaan negara, keberlangsungan industri, dan peredaran rokok ilegal.
Saat ini, pengenaan cukai baru atas terdiri tiga objek pengenaan yakni cukai hasil tembakau (rokok), etil alkohol (etanol), dan minuman yang mengandung etil alkohol.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Febrio Nathan Kacaribu mengungkapkan rencana pengenaan cukai tersebut masih harus dibahas pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
“Iya memang itu (cukai minuman berpemanis) yang akan kita coba bahas nanti dengan DPR, yang lain memang enggak,” ujar Febrio di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu, Jumat (16/8/2024).
Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan
Iuran BPJS Kesehatan dikabarkan akan naik pada 2025. Sebagaimana dikatakan Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti.
Meski begitu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah belum membahas besaran tarif iuran yang akan naik itu.
“Belum kita bahas antar kementerian terkait,” kata Airlangga di kantornya, Jakarta, Jumat (9/8/2024).
Sebagaimana diketahui, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti memberikan sinyal kenaikan besaran iuran itu hanya untuk kelas I dan II.
Kenaikan tarif iuran itu akan diterapkan menjelang pemberlakuan kelas rawat inap standar (KRIS) mulai 30 Juni 2025, yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024.
“Bisa, (iuran) bisa naik. Dan saat ini sudah waktunya juga naik,” katanya di Krakatau Grand Ballroom TMII, Jakarta Timur, dikutip dari CNN Indonesia, Kamis (8/8/2024).
Sementara itu, dia memastikan iuran peserta kelas III tidak akan berubah karena peserta tersebut umumnya merupakan Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI).
“Kalau kelas III gak akan naik. Kelas III itu kan, mohon maaf, umumnya PBI kan kelas 3,” tegasnya.
Sayangnya, Ghufron belum mengungkapkan kapan tepatnya besaran iuran BPJS Kesehatan akan naik. Namun, dia memastikan kebijakan ini bakal diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres).
Dalam kesempatan ini, Ghufron juga menegaskan tarif iuran BPJS Kesehatan tidak akan dibuat single tarif. Artinya, setiap kelas peserta bakal tetap membayar sesuai dengan porsinya.
Potensi Kenaikan BBM
Pemerintah berencana memangkas subsidi BBM pada tahun 2025 mendatang. Jika benar demikian, maka masyarakat harus bersiap untuk kenaikan tarif BBM di tahun depan.
Rencana kebijakan ini terungkap dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2025. Dalam dokumen tersebut, pemerintah mendorong dilakukannya pengendalian kategori konsumen untuk BBM jenis Pertalite dan Solar.
Peningkatan konsumsi BBM ditambah harga jual yang berada di bawah harga keekonomian mengerek beban subsidi dan kompensasi. Selain itu, penyaluran BBM Subsidi saat ini dinilai kurang tepat pasalnya lebih banyak dinikmati mayoritas rumah tangga kaya.
Dengan pengendalian konsumen yang berkeadilan, diperkirakan dapat mengurangi volume konsumsi Solar dan Pertalite sebesar 17,8 juta KL per tahun.
“Keseluruhan simulasi reformasi subsidi dan kompensasi energi ini diproyeksikan akan menghasilkan efisiensi anggaran sebesar Rp 67,1 triliun per tahun,” demikian dikutip dari Dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2025, Jumat (24/5/2024) lalu.
Potensi Kenaikan Harga Gas Elpiji
Dalam RAPBN 2025 disebutkan jika subsidi LPG Tabung 3 Kg hanya mencapai Rp 87,6 triliun atau naik tipis 2,3% dari outlook 2024 sebesar Rp 85,6 triliun. Kenaikan tipis ini mengindikasikan adanya langkah pembatasan penerima.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eddy Soeparno mengatakan pemerintah berencana untuk merubah skema pemberian subsidi pada produk gas tabung 3 kg atau gas melon menjadi BLT.
Namun, Ia menyebut rencana ini masih dalam tahap pembahasan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama DPR. Dia menyebut jika selama ini penerima subsidi LPG 3 kg dinikmati 80% masyarakat mampu.
Meski begitu, menurutnya perubahan skema subsidi gas melon ini diperkirakan baru akan diuji coba pada akhir 2025 mendatang. Sehingga jika benar nanti skema pemberian subsidi diganti, langkan ini baru bisa berjalan pada 2026 mendatang.
Sebab nantinya pemberian subsidi LPG 3 kg ini akan mengacu pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) untuk memastikan betul siapa penerima yang berhak dan yang tidak. Padahal, saat ini menurut Eddy masih ada yang perlu dibenahi dari DTKS saat ini agar pemberian bantuan lebih tepat sasaran.
“Sekarang kan (pemberian bansos) acuannya adalah DTKS. Makanya kenapa proses ini memakan waktu, karena harus mempersiapkan infrastruktur untuk peng-transferannya. Karena setiap penerima itu harus memiliki rekening bank. Diperhitungkan kurang dari 5% itu tidak memiliki rekening bank karena ada di pelosok sekali, itu bagaimana dengan pemberiannya,” ucapnya.
Tentunya, jika subsidi gas Elpiji 3 kg dialihkan, maka ada potensi kenaikan harga yang cukup tinggi. Komisi VII DPR RI mengungkapkan harga asli atau harga keekonomian dari tabung LPG tersebut.
“Di dalam setiap tabung LPG 3 kg, ada subsidi pemerintah Rp 33 ribu. Jadi kalau harganya sekarang adalah katakan saja Rp 20 ribu deh harganya, artinya kan keekonomiannya Rp 53 ribu kan? Kurang lebih kalau keekonomiannya seperti itu,” ujar Soeparno kepada CNBC Indonesia.
Diperkirakan nilai subsidi LPG 3 kg mengalami pembengkakan beberapa tahun ke depan. Sebab asumsi antara DPR dengan pemerintah menyetujui adanya peningkatan konsumsi LPG di Indonesia pada tahun 2025 mendatang.
IPL Apartemen Akan Dikenakan PPN
Ada kabar kalau Iuran Pemeliharaan Lingkungan (IPL) pada rumah susun dan apartemen akan dikenakan PPN. Hal ini bermula dari surat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan wilayah Jakarta Barat mengenai sosialisasi pengelola apartemen.
Dari surat yang diterima CNBC Indonesia, terpantau ada 19 apartemen yang masuk ke dalam daftar undangan, mulai dari PSSRS Komersial Campuran Seasons City Jakarta, Apartemen Grand Tropic, Apartemen Menara Latumeten hingga Apartemen Maqna Residence.
Dalam surat tersebut, akan dilakukan kegiatan sosialisasi PPN atas Jasa Pengelolaan/Service Charge kepada para pengelola apartemen oleh Kanwil DJP Jakarta Barat.
“Sehubungan dengan adanya kegiatan sosialisasi PPN atas Jasa Pengelolaan/Service Charge kepada para pengelola apartemen oleh Kanwil DJP Jakarta Barat, dengan ini kami mengundang Saudara untuk menghadiri kegiatan tersebut yang akan dilaksanakan pada hari, tanggal Kamis, 26 September 2024 waktu 09.00 s.d. selesai,” tulis undangan yang ditandatangani secara elektronik oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Barat Farid Bachtiar dikutip Rabu (25/9/2024).
Mengenai surat tersebut, Kalangan penghuni rumah susun dan apartemen keberatan. Ketua Umum Persatuan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Indonesia (P3RSI) Adjit Lauhatta menilai kebijakan itu tidak tepat karena banyak penghuninya merupakan kalangan menengah yang saat ini daya belinya tengah terganggu.
Polemik pengenaan PPN untuk IPL menemui titik terang setelah Dewan Pengurus Pusat (DPP) Persatuan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Indonesia (P3RSI) bertemu dengan pejabat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak yakni Muh. Tunjung Nugroho, Kepala Subdirektorat Peraturan Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan, Jasa, dan Pajak Tidak Langsung Lainnya di Kantor Ditjen Pajak, Jl. Gatot Subroto, Jakarta.
Kedua pihak membahas status dan aliran dana IPL warga rumah susun/apartemen sampai akhirnya dibelanjakan.
Ketua P3RSI Adjit Lauhatta menyampaikan besaran IPL (per meter per segi) ditentukan dalam Rapat Umum Anggota (RUA) PPPSRS. Berapa dana urunan (IPL) itu disesuaikan dengan rencana anggaran program kerja tahunan. Setelah itu baru berapa besaran IPL itu diputuskan. Jadi, sejak awal PPPSRS memang tidak cari untung dari IPL.
Dana IPL itu lalu ditampung dalam rekening Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS), yang selanjutnya akan dipergunakan untuk pembiayaan pengelolaan dan perawatan gedung.
Dengan demikian, dalam kegiatan penampungan dana IPL dari warga ke PPPSRS itu tidak ada pelayanan jasa di situ. Karena itu, IPL tidak tidak memenuhi unsur pertambahan nilai.
Pembentukan PPPSRS merupakan amanah UU No 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun untuk mengurusi pengelolaan Benda Bersama, Tanah Bersama, dan bagian bersama. Dan untuk mengelolanya, PPPSRS dapat membentuk atau menunjuk Badan Pengelola profesional.
“Untuk mengelola dan merawat gedung serta berbagai fasilitasnya, tentunya dibutuhkan biaya besar. Sesuai amanat undang-undang biaya pengelolaan tersebut akan ditanggung renteng oleh pemilik dan penghuni rumah susun secara proporsional, dalam bentuk IPL yang merupakan dana urunan warga dan ditampung di rekening PPPSRS, seperti layaknya RT/RW,” kata Adjit.
Sementara itu, Ketua PPPSRS Kalibata City, menampung aspirasi warga rumah susun. Sebagai catatan, Kalibata City yang jumlah unitnya sekitar 13 ribu itu merupakan rumah susun subsidi.
“Selain pemilik, banyak juga penyewa yang tinggal di apartemen Kalibata City dengan alasan agar lebih hemat, karena kantornya di tengah kota Jakarta. Daripada mereka cicil rumah di Bogor atau Tangerang, dimana biaya transportasinya lebih mahal. Hingga kasihan kalau mereka ada tambah pajak (PPN) dari IPL,” kata Musdalifah.
Tarif KRL Berbasis NIK
Polemik di 2025 kembali muncul pada awal September lalu, di mana pemerintah berencana mengubah skema subsidi Kereta Rel Listrik (KRL) Jabodetabek dengan berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) mulai 2025.
Kebijakan ini akan berdampak pada jutaan warga Indonesia yang mengandalkan KRL sebagai moda transportasi utama.
Pemerintah menjelaskan skema baru tersebut diharapkan bisa membuat subsidi PSO tepat sasaran. Anggaran belanja Subsidi PSO pada 2025 dialokasikan kepada PT Kereta Api Indonesia (Persero) sebesar Rp 4,79 triliun.
Anggaran sebesar itu digunakan untuk mendukung perbaikan kualitas dan inovasi pelayanan kelas ekonomi bagi angkutan kereta api antara lain KA ekonomi jarak jauh, KA ekonomi jarak sedang, KA ekonomi jarak dekat, KA ekonomi Lebaran, KRD ekonomi, KRL Jabodetabek, KRL Yogyakarta, dan Light Rail Transit (LRT) Jabodebek.
“Guna memastikan agar skema tarif ini betul-betul tepat sasaran, saat ini kami masih terus melakukan pembahasan dengan pihak-pihak terkait. Nantinya skema ini akan diberlakukan secara bertahap, dan akan dilakukan sosialisasi kepada masyarakat sebelum ditetapkan,” ungkap Direktur Jenderal Perkeretaapian Kemenhub Risal Wasal saat dikonfirmasi CNBCIndonesia, Kamis (29/8/2024).
Namun, Kementerian Perhubungan memberikan informasi terbaru soal penerapan subsidi KRL Jabodetabek, menjadi berbasis NIK mulai tahun 2025.
Juru Bicara Kemenhub Adita Irawati mengungkapkan pemerintah masih menggodok kebijakan tersebut.
“Masih dalam pembahasan lintas sektoral,” ungkap Adita kepada CNBC Indonesia, Jumat (4/10/2024).
Soal batal atau tidak, Adita hanya menegaskan bahwa kebijakan tersebut tidak akan dilakukan dalam waktu dekat.
“Yang jelas tidak akan diimplementasikan dalam waktu dekat,” tegasnya.